Dalam beberapa tahun terakhir, teknologi pengenalan emosi semakin banyak digunakan di bidang komersial, namun masalah ilmiah dan etikanya sangat kontroversial. Banyak perusahaan mengklaim bahwa perangkat lunak pengenalan emosi AI mereka dapat menilai emosi manusia secara akurat, namun banyak penelitian menunjukkan bahwa teknologi ini memiliki kelemahan serius dan akurasinya jauh lebih rendah daripada yang diiklankan.
Dalam beberapa tahun terakhir, teknologi pengenalan emosi secara bertahap muncul di industri teknologi. Banyak perusahaan teknologi telah meluncurkan perangkat lunak pengenalan emosi berbasis AI, yang mengklaim dapat menentukan keadaan emosi seseorang, termasuk kebahagiaan, kesedihan, kemarahan, dan frustrasi, dari data biometrik. Namun, semakin banyak penelitian ilmiah yang menunjukkan bahwa teknologi ini tidak dapat diandalkan seperti yang diiklankan.
Catatan sumber gambar: Gambar dihasilkan oleh AI, dan penyedia layanan otorisasi gambar Midjourney
Menurut penelitian terbaru, teknologi pengenalan emosi menghadapi masalah validitas ilmiah yang serius. Banyak perusahaan mengklaim sistem ini objektif dan berakar pada metode ilmiah, namun kenyataannya, mereka sering kali mengandalkan teori yang sudah ketinggalan zaman. Teori-teori ini berasumsi bahwa emosi dapat diukur dan memiliki manifestasi yang sama di seluruh dunia, namun kenyataannya, ekspresi emosi sangat dipengaruhi oleh budaya, lingkungan, dan perbedaan individu. Misalnya, kelembapan kulit seseorang bisa naik, turun, atau tetap sama ketika sedang marah, sehingga mustahil bagi satu indikator biologis untuk menilai emosi secara akurat.
Pada saat yang sama, teknologi pengenalan emosi ini juga menimbulkan risiko hukum dan sosial, terutama di tempat kerja. Berdasarkan peraturan UE yang baru, penggunaan sistem AI yang menyimpulkan emosi dilarang di tempat kerja kecuali karena alasan medis atau keselamatan. Di Australia, peraturan mengenai hal ini belum diterapkan. Meskipun beberapa perusahaan telah mencoba menggunakan analisis emosi wajah dalam perekrutan, efektivitas dan etika teknologi ini telah menimbulkan pertanyaan luas.
Selain itu, teknologi pengenalan emosi juga berpotensi menimbulkan masalah bias. Sistem ini mungkin menunjukkan diskriminasi terhadap orang-orang dari ras, jenis kelamin, dan disabilitas yang berbeda ketika mengenali emosi. Misalnya, beberapa penelitian menunjukkan bahwa sistem pengenalan emosi lebih cenderung mengidentifikasi wajah berkulit hitam sebagai orang yang sedang marah, meskipun kedua orang tersebut tersenyum pada tingkat yang sama.
Meskipun perusahaan teknologi mengakui adanya bias dalam pengenalan emosi, mereka menekankan bahwa bias terutama berasal dari kumpulan data yang digunakan untuk melatih sistem ini. Menanggapi masalah ini, inTruth Technologies menyatakan berkomitmen untuk menggunakan kumpulan data yang beragam dan inklusif untuk mengurangi bias.
Opini publik terhadap teknologi pengenalan emosi tidak optimis. Sebuah survei baru-baru ini menunjukkan bahwa hanya 12,9% orang dewasa Australia mendukung penggunaan teknologi pengenalan emosi berbasis wajah di tempat kerja, dan banyak yang melihatnya sebagai pelanggaran privasi.
Singkatnya, pengembangan teknologi pengenalan emosi menghadapi tantangan besar. Validitas ilmiahnya, risiko etika dan masalah bias sosialnya memerlukan perhatian luas dan diskusi mendalam. Sebelum suatu teknologi diterapkan, potensi dampak negatifnya harus diprioritaskan dan langkah-langkah peraturan yang sesuai harus dikembangkan.