Penulis wanita Jepang berusia 33 tahun Rie Kudan memenangkan Hadiah Akutagawa untuk novelnya yang dibantu AI "Tokyo Resonance Tower", yang memicu diskusi luas tentang penerapan kecerdasan buatan dalam penciptaan sastra. Kejadian ini tidak hanya menyoroti potensi teknologi AI dalam penciptaan seni, namun juga membawa banyak tantangan dan kontroversi, seperti kepemilikan hak cipta, dampak model kreatif tradisional, dan etika kecerdasan buatan. Artikel ini akan memberikan analisis mendalam mengenai hal tersebut.
Novel "Tokyo Resonance Tower" yang ditulis oleh penulis wanita berusia 33 tahun Rie Kudan menggunakan AI memenangkan penghargaan sastra tertinggi Jepang "Akutagawa Prize". Novel ini mendapat pujian bulat dari para juri, namun penggunaan AI dalam pembuatannya memicu kontroversi. Kontroversi tersebut terutama berfokus pada penerapan AI di bidang kreatif, termasuk masalah hak cipta dan dampaknya terhadap pencipta tradisional. Terlepas dari dukungan atau penolakan, kita perlu secara serius mempertimbangkan penerapan dan dampak AI yang wajar di bidang kreatif dengan alasan melindungi hak-hak pencipta, sehingga dapat lebih mendorong perkembangan sastra dan seni.Acara peraih penghargaan Rie Kudan menandai tonggak kemajuan AI di bidang kreasi seni. Hal ini juga mendesak kita untuk memiliki pemikiran dan diskusi yang lebih mendalam tentang integrasi pengembangan teknologi AI dan humaniora serta seni mencapai kesatuan yang harmonis antara kemajuan teknologi dan kemakmuran budaya. Di masa depan, batasan antara AI dan ciptaan manusia akan terus dieksplorasi, dan keseimbangan antara inovasi dan etika akan menjadi kuncinya.