Singapore General Hospital (SGH) secara aktif merespons isu global mengenai resistensi antibiotik dan menggunakan teknologi kecerdasan buatan untuk meningkatkan efisiensi dan akurasi medis. Sistem "Augmented Intelligent Infectious Diseases" (AI2D) yang mereka kembangkan dalam kemitraan dengan DXC Technologies bertujuan untuk mengoptimalkan peresepan antibiotik, mengurangi penyalahgunaan, dan memilih antibiotik yang paling tepat untuk pasien. Sistem ini awalnya diterapkan pada kasus pneumonia dan telah menunjukkan hasil yang luar biasa, memberikan pengalaman berharga untuk penerapan AI medis di masa depan.
Singapore General Hospital (SGH) sedang mengembangkan solusi kecerdasan buatan yang disebut Augmented Intelligence for Infectious Diseases (AI2D) yang bertujuan untuk menentukan perlunya meresepkan antibiotik, mengurangi penggunaannya, dan mengidentifikasi pengobatan antibiotik yang paling tepat untuk setiap pasien. Proyek tersebut, bekerja sama dengan DXC Technology, saat ini mencakup kasus-kasus pneumonia.
Pembangunan model AI2D didasarkan pada data klinis yang tidak teridentifikasi dari sekitar 8.000 pasien SGH dari tahun 2019 hingga 2020, termasuk sinar-X, gejala klinis, tanda-tanda vital, dan tren respons infeksi, yang mencakup tujuh antibiotik intravena spektrum luas yang umum digunakan. Tim peneliti melakukan studi validasi awal model AI pada tahun 2023 dan membandingkannya dengan 2.000 kasus pneumonia.
Dalam studi tersebut, SGH dan DXC mencatat bahwa AI2D mampu mengurangi sepertiga jumlah kasus yang memerlukan peninjauan (dari tahun 2012 menjadi 624). Model AI juga meningkatkan kemungkinan mengidentifikasi kasus yang memerlukan intervensi sebesar hampir 12% dari kasus yang ditinjau, dibandingkan dengan hanya 4% untuk tinjauan manual tradisional. Selain itu, waktu analisis untuk kasus tertentu dipersingkat dari 20 menit untuk tinjauan manual menjadi “kurang dari satu detik”.
Penelitian menunjukkan bahwa model AI 90% akurat dalam menentukan apakah antibiotik diperlukan pada kasus pneumonia. Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa pada hampir 40% kasus, resep antibiotik mungkin tidak diperlukan.
SGH mengatakan pneumonia menyumbang 20% dari seluruh infeksi di rumah sakitnya dan merupakan jenis infeksi yang paling sering diresepkan antibiotik. Rata-rata lama rawat inap pasien berkisar antara dua hingga sembilan hari, dan pemerintah mengeluarkan biaya hingga S$5.000 (sekitar US$3.500) per rawat inap bersubsidi di rumah sakit. Berdasarkan audit penggunaan antibiotik pada tahun 2018, Rumah Sakit SGH menemukan bahwa 20% hingga 30% antibiotik intravena berspektrum luas berlebihan, sementara sekitar 30% infeksi yang didapat di rumah sakit di Singapura dianggap resisten terhadap antibiotik berspektrum luas.
Menanggapi masalah global ini, rumah sakit membuat program pengelolaan antimikroba untuk mencegah penggunaan antibiotik yang berlebihan dan mengidentifikasi kapan antibiotik spektrum sempit yang lebih tepat direkomendasikan. Penggunaan otomatisasi dan kecerdasan buatan dapat memberikan wawasan real-time yang lebih baik pada saat pemberian resep, membantu mengidentifikasi dan memprioritaskan kasus-kasus yang memerlukan peninjauan.
Tim peneliti saat ini sedang melakukan studi perbandingan terhadap 200 pasien SGH yang dirawat di rumah sakit untuk menguji efektivitas model AI dalam mengurangi penggunaan antibiotik, dan akan mengembangkan model serupa untuk infeksi saluran kemih di masa depan.
Menyorot:
Teknologi AI membantu menentukan perlunya penggunaan antibiotik dan mengurangi penyalahgunaan.
Model AI menunjukkan akurasi 90% dan hampir 40% resep mungkin mubazir.
Program Pengelolaan Antibiotik Rumah Sakit SGH bertujuan untuk memerangi masalah global resistensi antimikroba.
Keberhasilan penerapan sistem AI2D memberikan arah baru dalam pengobatan presisi. Sistem ini memiliki potensi besar dalam meningkatkan efisiensi diagnostik, mengurangi biaya medis, dan memerangi resistensi obat di masa depan usaha medis dan kesehatan.