Supermarket Aeon Jepang meluncurkan sistem AI "Smile-Kun" untuk memantau senyuman karyawan, sehingga menimbulkan kontroversi besar. Sistem menganalisis ekspresi wajah dan suara karyawan untuk memberikan penilaian dan umpan balik terhadap layanan karyawan, yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas layanan pelanggan. Namun, langkah ini telah menimbulkan kekhawatiran publik mengenai privasi karyawan dan tekanan kerja, serta pertanyaan tentang keaslian ekspresi emosional karyawan dan kewajaran lingkungan kerja.
Saat ini, dalam upaya mencapai manajemen yang efisien dan manusiawi, Aeon, jaringan supermarket besar di Jepang, telah menimbulkan kontroversi luas di masyarakat karena menggunakan teknologi AI untuk memantau senyum para karyawannya.
Pada 16 Juli, Yahoo Jepang melaporkan bahwa Aeon telah meluncurkan sistem AI yang disebut "Smile-Kun" di 240 toko sejak 1 Juli. Sistem ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan layanan pelanggan karyawan dengan menganalisis senyuman dan volume suara mereka serta memberikan umpan balik secara real-time.
Sistem Smile-Kun mengharuskan karyawan untuk menyapa mereka setiap hari dan kemudian menilai mereka berdasarkan 450 titik senyum, termasuk mata dan mulut, dari 100 titik senyuman. Selain itu, sistem dapat menganalisis volume suara, kefasihan dan nada bicara karyawan secara real-time serta memberikan saran optimalisasi.
Dilaporkan bahwa AEON menguji coba sistem Smile-Kun di delapan toko pada bulan Juli lalu selama tiga bulan, dengan sekitar 3.400 karyawan yang berpartisipasi. Berdasarkan umpan balik dari pelanggan yang menyamar yang diatur oleh Aeon, setelah menggunakan Smile-Kun, rasio senyum karyawan meningkat secara signifikan sebesar 1,6 kali lipat.
Aeon percaya bahwa Smile-Kun dapat melakukan pelatihan karyawan seperti permainan dan mengurangi rasa membosankan dalam pelatihan sehari-hari. Pada saat yang sama, penggunaan AI untuk melacak dan menilai kinerja karyawan secara real time dapat membantu memberikan bonus secara akurat, sehingga meningkatkan semangat kerja karyawan.
Namun sebagian besar netizen menentang hal tersebut. Mereka percaya bahwa kondisi senyuman karyawan harus berbeda-beda pada setiap orang. Bagi karyawan yang pada dasarnya tidak suka tersenyum, akan lebih masuk akal jika menggunakan penilaian kualitatif dari atasan atau kolega. Beberapa netizen khawatir jika yang dilihat saat berangkat ke Aeon hanyalah pegawai yang dipaksa tersenyum, maka akan sulit meninggalkan kesan positif.
Meskipun pendekatan Aeon Supermarket ini didasarkan pada niat baik untuk meningkatkan kualitas layanan, pendekatan ini mengabaikan keaslian kepribadian dan ekspresi emosional karyawan. Saat mengejar efisiensi, bagaimana mempertimbangkan perasaan dan martabat karyawan adalah pertanyaan yang perlu dipikirkan secara mendalam oleh para manajer bisnis.
Insiden "Smile-Kun" yang terjadi di Aeon telah memicu diskusi luas mengenai etika teknologi dan manajemen yang manusiawi. Ketika perusahaan menerapkan teknologi AI, mereka perlu mempertimbangkan dengan cermat hubungan antara efisiensi dan kesejahteraan karyawan untuk menghindari teknologi menjadi alat yang menindas karyawan. Di masa depan, bagaimana menyeimbangkan kemajuan teknologi dan kepedulian humanistik akan menjadi tantangan yang dihadapi baik oleh perusahaan maupun masyarakat.